Aksi Polisi Australia Razia Kantor Redaksi ABC Tuai Kecaman Pers

Media 6 Jun 2019

Hai, MedForians!

Berita terbaru hadir dari pers Australia. Kali ini, peristiwa razia polisi di kantor redaksi Australian Broadcasting Corp (ABC) menuai kecaman dari sejumlah media dan kelompok advokasi hak asasi manusia.

Dilansir dari BBC Indonesia, Kamis (6/6), sebelumnya sejumlah polisi tiba di kantor redaksi ABC di Sydney dengan membawa surat penggeledahan yang mencantumkan nama dua wartawan dan direktur pemberitaan.

BBC kemudian merilis pernyataan via Twitter yang menyebut insiden penggeledahan itu “amat bermasalah”.

Tindakan kepolisian Australia tidak berhenti di situ. Aparat dilaporkan juga menggerebek rumah seorang wartawan News Corp.

Aliansi jurnalis di Australia mengatakan dua tindakan polisi tersebut mencerminkan “pola penyerangan yang mengganggu kebebasan pers Australia”. Beberapa serikat dan kelompok advokasi HAM juga mengecam aksi itu.

Dalam pernyataannya, Direktur Pelaksana ABC, David Anderson, mengatakan razia polisi “mengangkat kekhawatiran mengenai kebebasan pers”.

“ABC membela wartawan-wartawannya, akan melindungi semua narasumber, dan terus melaporkan tanpa takut atau demi membela isu intelijen dan keamanan nasional ketika jelas-jelas ada kepentingan publik.”

Direktur pemberitaan ABC News, Gaven Morris, membela dua wartawan yang namanya dicantumkan dalam surat penggeledahan.

Alasan di balik razia polisi

Aksi polisi diprediksi berkaitan dengan artikel-artikel mengenai dugaan perbuatan buruk pasukan Australia di Afghanistan.

Menurut ABC, razia ditujukan pada seri investigasi tahun 2017 yang dikenal dengan sebutan ‘The Afghan Files’.

Seri investigasi tersebut “mengungkap dugaan pembunuhan ilegal dan perbuatan buruk pasukan khusus Australia di Afghanistan”.

Disebutkan ABC, seri investigasi itu “didasarkan pada ratusan halaman dokumen rahasia yang dibocorkan kepada ABC”.

Kepolisian Federal Australia mengatakan surat penggeledahan di kantor ABC berkaitan dengan “dugaan penerbitan materi rahasia” dan itu “berkorelasi dengan arahan yang diterima pada 11 Juli 2017 dari Kepala Pasukan Pertahanan dan yang saat itu menjabat pelaksana tugas Menteri Pertahanan”.

Seri ‘The Afghan Files’ diterbitkan ABC pada 10 Juli 2017. Adapun penggeledahan di rumah wartawan Annika Smethurst pada Selasa (4/6) lalu berkaitan dengan laporanya pada 2018 mengenai rencana pemerintah Australia untuk memata-matai warganya sendiri.

Kepolisian mengatakan surat perintah razia di kediaman Smethurst terhubung dengan “dugaan menerbitkan informasi yang dikategorikan secara resmi sebagai rahasia”.

Kepolisian menambahkan, razia di kantor ABC dan kediaman Smethurst tidak saling bertalian.

Kesamaan kedua peristiwa adalah: “Keduanya diduga menerbitkan materi rahasia yang berlawanan dengan ketentuan Undang-Undang Pidana 1914. Hal itu sangat serius yang berpotensi mengancam keamanan nasional Australia”.

Kepolisian mengklaim mereka “selalu independen dan tidak memihak”.

Wartawan ABC, John Lyons, yang mencuit secara langsung kejadian penggeledahan itu, mengatakan kepolisian menelisik 9.214 dokumen di dalam jaringan ABC satu per satu, termasuk ribuan email internal ABC”.

Insiden berikutnya, Ben Fordham selaku penyiar stasiun radio 2GB, mengaku pemerintah sedang menyelidiki bagaimana dia memperoleh informasi mengenai enam perahu berisi para pencari suaka yang baru-baru ini berupaya mencapai Australia.

“Peluang saya mengungkap narasumber-narasumber saya adalah nol. Tidak hari ini, tidak besok, pekan depan, atau bulan depan. Tiada harapan itu bisa terjadi,” kata Fordham.

BBC menghubungi Kementerian Dalam Negeri Australia untuk meminta respons. Seorang juru bicara tidak mau mengonfirmasi atau membantah penyelidikan itu pernah terjadi.

Reaksi media dan lembaga advokasi HAM atas rangkaian razia

Rangkaian razia ini menuai kecaman dari sejumlah media dan lembaga advokasi HAM.

Penggeledahan kediaman Smethurst ditanggapi News Corp Australia dengan kemarahan. Perusahaan media multinasional yang dimiliki konglomerat Rupert Murdoch, menyebut razia itu “keterlaluan” dan “tindakan intimidasi yang berbahaya”.

News Corp mengatakan hak publik untuk mendapat informasi diabaikan oleh pemerintah Australia.

Peter Greste, direktur Aliansi Kebebasan Jurnalis, menyebut kalangan Australia yang menjunjung kebebasan pers akan risau dengan razia-razia ini.

Greste, seorang mantan wartawan Al Jazeera, menyamakan tindakan pemerintah Australia dengan aksi pemerintah Mesir yang memenjarakannya pada 2013 atas tuduhan membahayakan keamanan nasional.

“Kejadian ini mungkin bisa terjadi di negara otoriter, tapi bukan di negara demokrasi,” sebut Reporters Without Borders di Twitter.

Latar belakang razia dan tanggapan Pemerintah Australia

Rangkaian penggeledahan ini terjadi setelah Australia memberlakukan aturan mengenai tindakan mata-mata, tahun lalu. Saat itu, kalangan pembela HAM mengatakan aturan tersebut dapat dipakai untuk menyasar wartawan dan whisteblower.

Menanggapi razia terhadap ABC dan rumah wartawan di Canberra, Perdana Menteri Scott Morrison mengaku dirinya menyokong kebebasan pers. Tapi, “saya tidak pernah terganggu ketika hukum kita ditegakkan”.

Partai Buruh selaku partai oposisi meminta Menteri Dalam Negeri, Peter Dutton, menjelaskan tindakan penggeledahan itu.

Dutton mengaku baru mendapat informasi setelah penggerebekan berlangsung.

“Seperti semua warga Australia, saya meyakini kebebasan pers,” kata Dutton.

“Kami punya aturan serta perlindungan untuk kebebasan pers serta kami juga punya aturan serta undang-undang untuk melindungi keamanan nasional Australia,” pungkasnya.

Tag

Rizuki

Hanya seorang budak korporat yang menyukai game, manga, anime.