[Review] Gundala, Kisah Pertama Jagat Sinema BumiLangit

Pop Kultur 1 Sep 2019

Hai, MedForians!

Pasti MedForians sudah tidak asing lagi dengan jagat sinema para superhero buatan Marvel dan Disney. Apa jadinya jika Indonesia juga memiliki jagat sinema serupa tapi dengan superhero buatan BumiLangit? Gundala adalah jawabannya!

Superhero Sancaka/Gundala karangan Harya Suraminata (Hasmi) yang memulai debutnya sejak tahun 1969 ini telah diangkat menjadi film layar lebar baru yang diproduksi oleh Screenplay Films dan Legacy Pictures, menggaet Joko Anwar sebagai sutradara dan penulis serta Abimana Aryasatya sebagai pemeran Sang Putra Petir Gundala.

Film ini merupakan bagian dari jagat sinema BumiLangit dan sebagai pembuka untuk film-film berikutnya, apakah Gundala memperlihatkan hasil yang bagus?

THE STORY

Sancaka adalah seorang pemuda yang lahir di kehidupan yang gelap nun kelam. Setelah kehilangan kedua orang tuanya, Sancaka menghabiskan masa kecilnya sebagai anak jalanan sebelum akhirnya dia bekerja di sebuah percetakan koran. Sancaka takut dengan petir sejak kecil, namun suatu ketika, dirinya tersambar petir dan diberkati dengan kekuatan istimewa. Dengan kekuatan super barunya ini, Sancaka mulai beraksi sebagai pahlawan yang melawan ketidakadilan di ibu kota Jakarta, dan aksinya ini menarik perhatian Pengkor (Bront Palarae), boss mafia yang menguasai dunia politik di Indonesia.

PROS

Film Gundala menghadirkan beragam karakter dari serial komiknya yang ditulis dan diperankan dengan baik di layar lebar. Abimana Aryasatya sebagai Sancaka menjiwai sosok dibalik Gundala yang belajar untuk lebih peduli kepada mereka yang ditindas, dan Bront Palarae memerankan tokoh Pengkor dengan penuh wibawa. Perseteruan kedua karakter ini sangat menarik untuk disaksikan karena mereka sama-sama memiliki masa kecil yang serupa, namun cara mereka bertahan hidup dan filosofi yang mereka kembangkan sangat bertolak belakang. Para karakter pembantu juga diperankan dan ditulis dengan bagus, baik di kubu Gundala maupun di kubu Pengkor.

Setting yang dipakai dan teknik sinematografi yang digunakan sangat bagus dalam mencerminkan dunia BumiLangit yang penuh dengan kekacauan, dimana diperlukan sesosok pahlawan untuk menjaga kedamaian di dunia tersebut. Adegan-adegan laga dan baku hantam yang diperlihatkan di filmnya penuh dengan energi, di koreografikan dengan mantap, dan lumayan brutal untuk film yang ditargetkan untuk usia 13 tahun ke atas seperti film-film Marvel pada umumnya. Meski tidak sebrutal film The Raid, tetap ada beberapa adegan yang agak “ekstrim” untuk dilihat anak-anak di bawah umur. Untuk efek khusus, meski tidak sebombastis atau semahal film Hollywood, sudah cukup bagus dan di intregasikan ke filmnya dengan baik.

Kostum Gundala telah di desain ulang mengingat filmnya berfokus pada asal usul Sang Putra Petir sebelum dia memakai kostum berwarna hitamnya yang begitu ikonik. Pembuatan kostumnya menunjukan salah satu keahlian Sancaka, yang dapat memperbaiki atau menciptakan sesuatu hanya dengan menggunakan barang-barang sederhana, dan bahkan dijelaskan pula mengapa topeng Gundala memiliki sayap layaknya Captain America buatan Marvel.

CONS

Salah satu kelemahan film Gundala bisa dibilang merupakan kelemahan yang hampir semua film dengan tema jagat sinema (seperti contohnya Batman V Superman: Dawn of Justice buatan DC Comics dan Warner Bros.) juga miliki, dimana ada beberapa petunjuk-petunjuk atau elemen-elemen yang tidak begitu penting di filmnya tapi akan menjadi sesuatu yang penting di film yang akan datang. Hal seperti ini sangat canggung dan mengganggu cerita filmnya yang hanya berfokus pada satu pahlawan saja.

Sebagai film pertama, Gundala seharusnya lebih berfokus pada dunianya sendiri sebelum akhirnya bisa mereferensi film berikutnya di jagat sinema BumiLangit.

Para tokoh supervillain yang muncul selain Pengkor sayangnya tidak ditulis dengan bagus di film ini. Kehadiran mereka hanya sebatas sebagai anteng-anteng si penjahat utama yang bisa dikalahkan dengan mudah oleh sang tokoh utama. Meski diberi keahlian dan kepribadian masing-masing yang beragam dan unik, mereka tidak diberi waktu yang cukup untuk berkembang. Jumlah mereka juga terlalu banyak dan hanya membuang durasi waktu filmnya yang hampir dua jam. Sebaiknya pasukan Pengkor hanya terbatas maksimal tiga orang saja, dan ada beberapa bawahannya yang mampu membuat Gundala sendiri kesulitan dalam bertarung. Ada salah satu bawahan Pengkor di film ini yang tidak dijelaskan motif dari kejahatannya dan ada satu bawahan lainnya yang asal usul dari kekuatan supernya tidak dijelaskan sama sekali.

Bicara soal penjelasan tentang kekuatan super, film ini sayangnya tidak menjelaskan lebih lanjut kenapa Sancaka bisa mendapat kekuatan super setelah tersambar petir. Pembaca komik lokal pasti tahu alasannya, tapi filmnya sama sekali tidak jelas dalam bagian ini, sehingga membingungkan penonton yang tidak membaca komiknya. Mungkin alasan mengapa sekuel Gundala diberi judul “Putra Petir” adalah karena Screenplay dan BumiLangit Studios ingin menjelaskan lebih lanjut kekuatan Gundala melalui film tersebut. Agak mengecewakan sebenarnya.

FINAL THOUGHTS

Sebagai film pertama di Jagat Sinema BumiLangit, Gundala sudah cukup solid dalam memperkenalkan dunia superhero Indonesia. Kisah Sancaka dan aksinya dalam melindungi Jakarta sangat menghibur dan menarik untuk di ikuti, namun tetap disayangkan karena film ini memiliki kelemahan seperti film jagat sinema lain selain Marvel, kekuatan Gundala yang kurang penjelasannya, serta bawahan Pengkor yang kurang kualitasnya jika dibandingkan dengan atasannya.

Semoga saja film Sri Asih, film kedua BumiLangit yang akan dibintangi Devita Pearce, bisa lebih bagus lagi dan dapat memperbaiki kesalahan dari film Gundala.

Tag

Aulia Raihan Hakim

Fan dubber, otaku, wrestling mark, casual gamer, movie goer, amateur writer.