Axiata Berencana Kuasai Operator Seluler di Indonesia

Teknologi 27 Mei 2020

Axiata, salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Asia yang didirikan di Malaysia, dikabarkan hendak membeli salah satu operator seluler pesaing yang lebih kecil. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan efisiensi perusahaan, sekaligus mengurangi persaingan dalam pasar operator seluler.

Hal tersebut diutarakan oleh CEO Axiata, Jamaludin Ibrahim dalam sesi wawancara eksklusif dengan Reuters. Namun belum disebutkan, operator mana yang akan diakuisisi kepemilikannya oleh Axiata. Saat ini, kurang lebih ada tiga operator seluler yang posisinya berdampingan dengan XL Axiata. Empat operator tersebut adalah Indosat Ooredo, Smartfren, dam Tri.

“Kecuali pemain terbesar, saya dapat memberitahukan saat ini kami sedang berbicara dengan semua orang untuk semacam pengaturan,” terang Jamaludin.

“Saya tidak bisa membayangkan membeli dua (operator) dan toh Anda tidak perlu melakukannya,” tambahnya.

Jamaludin mengatakan bahwa Axiata Group memiliki nilai kapitalisasi pasar sekitar 8 Milliar Dollar Amerika. Jamaludin mengatakan Axiata juga sedang mencari kesepakatan di Malaysia dan Sri Lanka. Perusahaan ini juga beroperasi di Bangladesh, Kamboja, Nepal, Pakistan, Myanmar, Thailand, Laos, dan Filipina.

“Saya berharap sebelum pensiun, setidaknya satu negara terjadi. Entah Malaysia, Indonesia atau Sri Lanka,”katanya.

“COVID-19 menjadikannya suatu keharusan untuk berkonsolidasi, bahkan lebih dari sebelumnya, dan karenanya untuk berdiskusi dengan semua pihak menjadi sangat penting.” sambung Jamaludin.

Kunci bisnis dalam hal komunikasi menurut Rudiantara

Jika rencana akuisisi Axiata dengan salah satu operator seluler di Indonesia benar terjadi, maka apa yang dicanangkan pemerintah sejak lama terwujud.

Kala masih menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara terus mendorong industri untuk melakukan konsolidasi. Menurutnya, konsolidasi harus dilakukan karena jumlah operator seluler di Indonesia tergolong terlalu banyak jumlahnya.

“Kenapa harus konsolidasi? Karena kita terlalu banyak operator negara ini. Terlalu banyak operator akibatnya tidak bisa mempunyai skala ekonomi yang memadai,” kata Rudiantara saat berbincang di kantor Kominfo beberapa waktu silam.

Kunci dari bisnis komunikasi menurut Rudiantara ada tiga. Pertama capital intensif, yakni uang harus terus ada. Operator yang besar, kaya, dan untungnya banyak sekalipun tetap mengeluarkan uang karena harus terus berinvestasi.

Kunci kedua adalah teknologi intensif. Teknologi terus berubah dan harus selalu diupdate. Apa yang digunakan sekarang mungkin bakal ketinggalan 10 tahun lagi.

“Tahun 1995 awalnya 2G di Indonesia, sekarang 4G. Belum mau 5G, tapi suka memikirkan 5G coba bayangkan. Bagaimana dengan teknologi sebelumnya, sudah usang.”

Kunci ketiga regulatory intensif. Menurutnya harus ada aturan yang sifatnya light touch regulation guna memastikan yang investasikan uang di industri ini ada kepastian.

“Karena tidak ada skala ekonomi, perusahaannya kecil, kemampuan keuangannya kecil, balance sheet juga kecil, jadi tidak punya leverage. Beda kalau skala ekonominya tinggi, timbul efisiensi. Karena neracanya besar mampu me-leverage hingga bisa negosiasi dengan vendor untuk membeli hyperunit cost invetasinya yang lebih murah itu yang kita harapkan”

“Permasalahannya kenapa belum ya saya tidak bisa mengontrol semuanya, karena tidak hanya bisa dari regulasi, ini bisnis B2B, tapi saya selalu katakan, makin lama tidak terjadi kita semua rugi”

Kerugian yang terjadi ujung-ujungnya konsumen yang merasakan dampaknya. Karena ketika operator yang seharusnya berkonsolidasi, makin lama kemampuan investasinya menurun. Kondisi ini akan dirasakan masyarakat langsung dengan menurunnya kualitas layanan operator. Rudiantara berharap operator seluler bisa mengerucut jadi tiga. Sehingga kompetisinya tidak dari sisi persaingan harga tapi dari segi layanan.

Sumber : Detik.com

Tag

Dimas Febrianto Pratama

Tech Enthusiast, Kuli Jawa