[#MedForiansJournalism] Seishun Buta Yarou: Hubungan Fiksi Ilmiah dan Supernatural
Novel ringan Seishun Buta Yarou menjadi populer di kalangan otaku. Berjumlah 10 volume, novel ringan ini pernah tayang sebagai seri anime 13 episode produksi Studio CloverWorks di periode Oktober – Desember 2018, sebelum kemudian “ditutup” dengan film anime pada Juni tahun lalu.
Ada satu problem utama sekaligus menjadi menarik untuk dibahas dalam topik utama kali ini, yaitu tentang sindrom pubertas.
Untuk mendekati sindrom pubertas yang terjadi di Seishun Buta Yarou Series, penulis dapat menggunakan penjelasan ilmiah atau justifikasi supernatural. Di laman MyAnimeList, karya ini masuk ke dalam genre ‘supernatural’.
(Catatan: Tulisan kali ini mengandung spoiler. Harap menonton seri anime atau sudah membaca novel ringannya terlebih dahulu)
Di samping ‘fantasi’, laman AniDB menandai karya ini sebagai ‘fiksi ilmiah’. Lalu bagaimana sebenarnya genre dari karya ini? Haruskah kita bersikap tegas dan memilih salah satu saja? Apakah bisa ada perdamaian di antara keduanya?
Meleburkan keduanya adalah solusi yang terdengar pragmatis. Akan tetapi, keduanya tidak selalu layak untuk dianggap seimbang.
Penjelasan ilmiah tentang sindrom pubertas dipaparkan oleh tokoh Futaba Rio. Sebagai anggota klub sains, dia layak menjadi otoritas yang menjelaskan kejadian tidak biasa ini, setidaknya bagi Azusagawa Sakuta semata.
Untuk menjelaskan bagaimana Sakurajima Mai ‘tidak dapat dilihat’, misalnya, Futaba menggunakan teori Schrödinger’s cat yang berasal dari fisika kuantum.
Dari sejumlah arc dan temuan sindrom pubertas berbeda-beda, Futaba terus menggunakan teori-teori fisika untuk mencoba menjelaskan apa yang terjadi.
Di sisi lain, sindrom pubertas dapat dipahami sebagai kejadian supernatural. Di sinopsis MyAnimeList disebutkan bahwa, “ . . . gejala [penyakit] itu sangat supernatural hingga sedikit yang mempercayai kebenarannya.”
Ini menandakan ketidakpahaman akan apa yang terjadi dan akhirnya diputuskan untuk menganggapnya supernatural saja. Cakupannya meliputi kodrat ilahi, campur tangan makhluk gaib, atau secara umum sesuatu di luar jangkauan hukum alam yang dipahami manusia.
Karena tidak sepenuhnya dimengerti, sindrom pubertas dapat disebut sebagai hal transenden. Maka dari itu, penulis menggunakan penjelasan-penjelasan sebagai jembatan untuk mempermudah proses pemahaman.
Penjelasan ilmiah dan justifikasi supernatural adalah sama-sama solusi untuk mendekati titik itu. Sebagai analogi, ketika penulis ingin menghadirkan ‘persahabatan’, penulis membuat jembatan-jembatan seperti: memberi hadiah, menyediakan dukungan, memuji, atau menghormati.
Akan tetapi, keempat hal tersebut bukanlah ‘persahabatan’ itu sendiri. Seperti inilah fungsi penjelasan ilmiah dan justifikasi supernatural dalam menghadirkan sindrom pubertas.
Menggunakan supernatural sebagai jembatan ke hal transenden terdengar seperti malas-malasan atau mencari alasan. Terasa ada kehilangan di antara karakter yang mencoba memahami dan yang ingin dipahami.
Sebaliknya, menggunakan penjelasan ilmiah terdengar seperti mengutuhkan jembatan untuk memahami hal transenden.
Di sini, mulai terlihat bahwa menggabungkan genre fiksi ilmiah dan supernatural adalah hal yang tidak seimbang. Fiksi ilmiah lebih disukai daripada supernatural karena sifatnya yang lebih terjangkau daya pikir.
Dalam pandangan filsafat dekonstruksi Derrida, hal ini terjadi karena ada hegemoni makna akan lawannya. Ini adalah kritik atas ‘oposisi biner’, semacam proses melihat dua konsep yang berlawanan. Sebagai contoh, ada laki-laki/perempuan, langit/bumi, dan terang/gelap.
Dari sini, penulis dapat mengoposisikan ‘ilmiah’ dengan ‘supernatural’. Hal yang dikritik oleh para penganut dekonstruksi adalah salah satu kutub perlawanan ini akan selalu mendapatkan prioritas atau kekuatan.
Kata terang akan lebih ditinggikan daripada gelap, sekaligus diasosiasikan dengan kebenaran dan kemurnian, sedangkan gelap adalah manifestasi kejahatan.
Di kasus karya Seishun Buta Yarou Series, ada ilmiah yang “supernatural” dan ilmiah mendapatkan sebuah prioritas karena masuk akal.
Bagaimana ini bisa terjadi? Menurut dekonstruksi, bahasa dianggap sebagai hal yang tidak stabil. Contoh sederhana adalah kalimat “Saya menembak gadis dengan bunga.” Ada ketidakstabilan di sini.
Apakah penulis melontarkan sebuah proyektil kepada seorang gadis? Apakah bunga adalah alat yang digunakan untuk melontarkan sebuah proyektil, atau apakah itu benda yang sedang dipegang sang gadis? Apakah penulis mengajak sang gadis untuk berpacaran? Apakah penulis juga melamar sang gadis menggunakan bunga?
Memangnya apa hubungan bunga dengan lamaran atau cinta? Ketidakstabilan ini menandakan bahwa mereka hanya membuat-buat ketika sedang berbahasa.
Dikarenakan ketidakstabilan bahasa, muncul hegemoni makna yang juga dibuat-buat. Mengambil contoh tadi tentang terang dan gelap, penulis dapat mempertanyakan: mengapa terang yang diasosiasikan dengan kebenaran dan bukan gelap?
MedForians bisa mengupas ilmiah/supernatural Seishun Buta Yarou Series ke akal/emosi. Jika ingin mendengarkan penjelasan ilmiah tentang sesuatu, kalian akan merasakan kelegaan.
Akan ada momen dimana “Oh benar juga” yang dialami oleh MedForians karena merasa terpenuhi.
Akan tetapi, kalau penjelasan tersebut bersifat supernatural, misalnya sesuatu itu disebutkan sebagai ulah setan atau jin, kalian akan merasa kurang nyaman dan melontarkan, “Apa benar?” atau “Jirr, apa hubungannya?”
Dari sini, penulis mendapati bahwa akal lebih dipilih daripada emosi, meskipun keduanya berusaha menjembatani ke sesuatu yang transenden.
Paparan ini terdengar seperti antagonisme akal dan emosi. Kutub yang tertindas tampak ingin menegaskan dirinya. Akan tetapi, penulis dapat melihatnya sebagai hal yang saling mengingatkan satu sama lain.
Perlu dilihat bahwa ada proses ideologi yang terjadi dalam bahasa, ada suara yang tersingkirkan. Lois Tyson (2006) pernah menulis bab di bukunya sebagai pengantar ke dekonstruksi.
Di dalamnya, ia memberikan pertanyaan refleksi: bukankah emosi kadang adalah jawaban yang paling masuk akal? Bukankah membuang semua emosi adalah hal yang tidak masuk akal? Bukankah bergantung terus pada akal adalah hal yang emosional?
Terlebih lagi, dekonstruksi tidak akan pernah selesai. Hal yang diekspos melalui dekonstruksi dapat didekonstruksi lagi dan dapat berlanjut terus-menerus, bahkan tulisan ini sekalipun.
Daftar Pustaka
Tyson, L. (2006). Deconstructive Criticism. Dalam Critical Theory Today: A User-friendly Guide. Routledge: New York, NY.
Artikel ini adalah hasil kiriman dari Niko Arsa.
Artikel ini merupakan kiriman pembaca Media Formasi, isi konten yang dimuat pada artikel ini adalah tanggung jawab pengirim
Ingin artikelmu dimuat juga? Kirimkan langsung ke alamat surel [email protected] dengan subjek: #MedForiansJournalism [spasi] Judul artikel