Sumber: thisismoney.co.uk

[Opini] Revisi PPnBM Mobil, Jauh Lebih 'Sensible' di Masa Kini (dan Mendatang)

Otomotif 12 Sep 2021
Ilustrasi emisi karbon dioksida dari mobil dengan mesin internal combustion (Foto: thisismoney.co.uk).

Hai Medforians, dan Juga Para Penggemar Otomotif Indonesia!

Tidak terasa tinggal beberapa minggu lagi sebelum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2021 mengenai pajak PPnBM mobil diberlakukan. Inilah tanda bahwa Indonesia ingin membawa tren elektrifikasi kepada lebih banyak kalangan masyarakat serta 'merapikan' sistem perpajakan mobil di Indonesia agar lebih sesuai dengan zaman sekarang.

Revisi sistem perpajakan ini mendapatkan tanggapan positif dari kalangan penggiat otomotif Indonesia, termasuk saya sendiri. Kali ini saya akan membahas bagaimana perbedaan antara sistem lama dan baru ini, serta bagaimana dampak positifnya bagi industri otomotif Indonesia ke depannya.

Sistem Perpajakan Lama Yang...

Dalam beberapa tahun terakhir, perpajakan selalu menjadi topik menarik bagi industri otomotif di Indonesia.

Sebagaimana yang diketahui harga mobil di Indonesia memang tidak bisa dibilang 'terjangkau' (walaupun tentu saja tidak 'segila' Singapura) dengan berbagai pajak yang dibebankan pada Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB), salah satunya adalah Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Bahkan, salah satu alasan harga mobil di Indonesia yang tergolong mahal karena sistem perpajakan yang memberikan tarif PPnBM yang tergolong tinggi, apalagi untuk mobil mewah (which is make sense).

Nah, apa yang menjadi permasalahannya? Tren elektrifikasi. Indonesia mungkin agak terlambat dibandingkan negara lain dalam mengikuti tren ini, but hey, better late than never, yes? Lihat saja berbagai mobil hybrid dan listrik yang mulai dipasarkan di Indonesia seperti Nissan Leaf, Hyundai Kona Electric, dan sebagainya. Itulah bukti bahwa pasarnya memang ada, sekaligus peminatnya yang terus bermunculan.

Tanpa adanya sistem perpajakan yang jelas, sulit bagi mobil seperti Hyundai Kona Electric ini layak untuk dipasarkan di Indonesia. Sumber: Carwow.co.uk

Inti permasalahannya adalah sistem perpajakan mobil di Indonesia sudah tergolong 'kuno' untuk zaman sekarang, apalagi dengan tren elektrifikasi yang semakin gencar. Mobil hybrid dan listrik sama sekali 'tidak dikenal' dalam sistem perpajakan tersebut sehingga diberi pajak PPnBM layaknya mobil mewah, hasilnya adalah harga jualnya yang selangit, sehingga terkesan seperti missed opportunity.

Untungnya, kali ini pemerintah bergerak cepat dengan merevisi sistem perpajakan PPnBM mobil di Indonesia sebagai bentuk dukungan terhadap tren elektrifikasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2021 yang akan berlaku 16 Oktober 2021 mendatang.

Apa Perbedaannya?

Pertama kita akan menjabarkan sistem perpajakan PPnBM mobil versi lama dan baru. Versi lama sendiri mengacu pada PP Nomor 41 Tahun 2013, yang memuat berbagai macam pasal mengatur berbagai macam jenis kendaraan dan besaran tarif PPnBM.

Saya tidak akan merangkum pasal tersebut satu-persatu. Oleh karena itu agar lebih mudah, saya telah membuat tabel yang merangkum pengelompokan jenis kendaraan serta tarif PPnBM sebagai berikut:

Sumber: PP Nomor 41 Tahun 2013

Menurut PP Nomor 41 Tahun 2013 diatas, pengelompokan tarif PPnBM sangat ditentukan dari kapasitas mesin, tipe mobil, spesifikasi mesin bensin, serta penggeraknya. Mungkin kalian akan melihat beberapa "diskriminasi" terhadap jenis mobil tertentu.

Lihat saja sedan/station wagon mendapati tempat tersendiri dengan tarif yang lebih tinggi dibandingkan tipe mobil lainnya, atau mobil berpenggerak empat roda yang mendapat 'perlakuan sama' layaknya sedan. Lalu jangan lupa tarif 125% untuk mobil bensin diatas 3.000cc dan diesel diatas 2.500cc.

Nah, sekarang kita lihat bagaimana penjabaran tarif PPnBM baru menurut PP Nomor 73 Tahun 2019 melalui tabel berikut:

Sumber: PP Nomor 73 Tahun 2019

See that difference? Berdasarkan PP Nomor 73 Tahun 2019, penentuan tarif PPnBM tidak lagi ditentukan berdasarkan kapasitas mesin, tipe mobil, maupun penggerak, melainkan ditentukan berdasarkan konsumsi BBM atau kadar emisi CO2 yang dihasilkan oleh suatu mobil.

Yang cukup unik adalah masih adanya pembagian berdasarkan kapasitas mesin, namun telah disederhanakan dengan batasan 3.000cc dan 4.000cc saja. Bagaimana dengan kapasitas mesin diatas 4.000cc? Yaitu tarif PPnBM sebesar 95%, tanpa memperdulikan konsumsi BBM maupun kadar emisi CO2 yang dihasilkannya.

Any good news? Pajak sedan dan 4x4 dihilangkan! Kedua jenis mobil tersebut dileburkan dengan mobil penumpang lainnya dan cukup menentukan PPnBM berdasarkan konsumsi BBM atau kadar emisi CO2 seperti tipe mobil lain.  At last, sedan and 4x4's tax 'discrimitation' comes to an end.

Jika melihat dengan sekilas, mungkin sistem perpajakan PPnBM baru ini terlihat membingungkan karena adanya dua 'instrumen' untuk menentukan tarif PPnBM. Akan tetapi sebenarnya pabrikan mobil cukup memenuhi salah satu dari instrumen tersebut untuk menentukan tarif PPnBM-nya, dan dengan teknologi sekarang, hal itu tergolong cukup mudah untuk dipenuhi.

Apalagi dengan tarif yang lebih rasional dibandingkan sistem sebelumnya (ingat pajak 125% bagi mobil bensin diatas 3.000cc dan diesel diatas 2.500cc?), diharapkan dapat menarik minat pabrikan untuk menghadirkan lebih banyak mobil ke Indonesia yang sebelumnya terhalang karena pajak masif tersebut.

Hybrid? Electric? FCEV? There's The Benefit

Sekarang kita ke topik utama, bagaimana benefit yang didapatkan dari mobil ramah lingkungan atau biasa disebut 'LCEV' tersebut?

Sama seperti mobil bermesin bensin atau diesel, mobil hybrid memiliki ketentuan dalam hal konsumsi BBM dan emisi CO2, dengan nilai yang lebih ketat pastinya.

Tanpa berbasa-basi lagi, saya telah menjabarkan pengelompokan pajak PPnBM bagi mobil LCEV berdasarkan PP Nomor 73 Tahun 2019 dan PP Nomor 74 Tahun 2021 dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Sumber: PP Nomor 73 Tahun 2019 dan PP Nomor 74 Tahun 2021

That's huge benefit. Dibandingkan dengan mobil bermesin bensin/diesel dengan kategori yang sama. Mobil hybrid dengan persyaratan konsumsi BBM dan emisi CO2 yang lebih ketat mendapatkan tarif PPnBM yang hanya setengahnya.

Keep in mind bahwa tarif PPnBM untuk mobil hybrid, mild-hybrid dan PHEV adalah 15%, namun diuntungkan dengan adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar 40% dan 46,67% tergantung dari kategori. Artinya tarif PPnBM tersebut tidak dihitung terhadap NJKB secara penuh, melainkan hanya terhadap DPP saja sehingga tarifnya menjadi sangat rendah jika dikalikan kembali.

Tapi harap diingat bahwa keuntungan tersebut hanya untuk kategori kapasitas mesin dibawah 3.000cc. Sedangkan untuk dibawah 4.000cc tetap dihitung dari NJKB secara penuh. Meski begitu, tarifnya jauh dibawah mobil bermesin bensin/diesel sehingga benefit-nya tetap sangat terasa.

Tentu saja mobil listrik dan hidrogen yang mendapatkan benefit terbesar. Mobil listrik dan hidrogen memiliki tarif PPnBM 0% karena mendapatkan DPP sebesar 0%, sehingga tarif PPnBM benar-benar nihil. Diharapkan benefit ini dapat menggerakan tren mobil listrik di Indonesia dengan harga jual yang lebih terjangkau ke depannya.

Harga Mobil Jadi Lebih Murah? Belum Tentu

Dengan kehadiran sistem perpajakan baru yang lebih rasional, mungkin membawa satu pertanyaan. Apakah harga mobil dapat lebih terjangkau?

Jawabannya adalah that's not the case, malah kemungkinan akan lebih mahal daripada sebelumnya. Berdasarkan tabel dari PP Nomor 73 Tahun 2019, tarif terendah untuk mobil non-hybrid adalah 15% untuk kategori pertama, bandingkan dengan 10% sebagai tarif terendah untuk minibus 4x2 dibawah 10 penumpang untuk mesin hingga 1.500cc menurut PP Nomor 41 Tahun 2013. See that incerase?

Bagaimana kalau kita melakukan perhitungan sederhana? Sebagai contoh saya menggunakan Toyota Avanza 1.3G MT dengan NJKB Jakarta 2021 sebesar 165 Juta Rupiah, dan menggunakan nilai tersebut untuk menentukan harga jual dengan tarif PPnBM sebagai variabel.

sumber: carvaganza.com

Harap diingat, saya tidak menyertakan tarif lain seperti PPN, Pajak Progresif, Bea Balik Nama (BBN), maupun diskon PPnBM yang sedang digencarkan pemerintah dalam perhitungan ini agar lebih mudah dimengerti bagaimana perubahan tarif PPnBM terhadap harga jual kendaraan itu sendiri.

Without further ado, let's do quick maths.

Versi PP Nomor 41 Tahun 2013, dengan tarif 10% untuk kategori minibus 4x2 dibawah 10 penumpang untuk mesin hingga 1.500cc

Harga Jual= NJKB + (PPnBM x Harga Jual)
= Rp. 165.000.000 + (10% x 165.000.000)
= Rp. 165.000.000 + Rp. 16.500.000
= Rp. 181.500.000

Versi PP Nomor 73 Tahun 2019, dengan tarif 15% untuk kategori pertama (konsumsi bbm diatas 15,5 km/liter atau emisi CO2 dibawah 150 g/km)

Harga Jual= NJKB + (PPnBM x Harga Jual)
= Rp. 165.000.000 + (15% x 165.000.000)
= Rp. 165.000.000 + Rp. 24.750.000
= Rp. 189.750.000

See that incerase? Avanza justru mengalami kenaikan harga dengan revisi PPnBM ini. Oke, mungkin nilai tersebut tidak serta menjadi patokan mutlak, tapi setidaknya menjadi gambaran bahwa jelas akan terjadi perubahan harga begitu revisi PPnBM ini berlaku.

Lalu bagaimana dengan sedan? That's good question, so let's do it again. Kali ini saya menggunakan Toyota Camry 2.5G sebagai contoh dengan nilai NJKB Jakarta 2021 sebesar 486 juta Rupiah.

sumber: carvaganza.com

Sedangkan data konsumsi BBM serta emisi CO2 saya mengambil dari hasil review oleh bangkokpost.com (kalian bisa lihat artikelnya disini), dengai nilai konsumsi BBM sebesar 15,6 km/liter dan emisi CO2 148 g/km, maka dari itu Camry 2.5G mendapatkan kategori pertama yaitu tarif 15% untuk konsumsi bbm diatas 15,5 km/liter atau emisi CO2 dibawah 150 g/km.

Without further ado, let's do quick maths again.

Versi PP Nomor 41 Tahun 2013, dengan tarif 40% untuk kategori sedan bermesin bensin hingga 3.000cc

Harga Jual= NJKB + (PPnBM x Harga Jual)
= Rp. 486.000.000 + (40% x 486.000.000)
= Rp. 486.000.000 + Rp. 194.400.000
= Rp. 680.400.000

Versi PP Nomor 73 Tahun 2019, dengan tarif 15% untuk kategori pertama (konsumsi bbm diatas 15,5 km/liter atau emisi CO2 dibawah 150 g/km)

Harga Jual= NJKB + (PPnBM x Harga Jual)
= Rp. 486.000.000 + (15% x 486.000.000)
= Rp. 486.000.000 + Rp. 72.900.000
= Rp. 558.900.000

That's huge difference. Hal semacam ini tidak hanya berlaku bagi Camry saja, tapi juga bagi semua sedan yang dijual di Indonesia. Sepertinya tidak akan aneh lagi jika harga sedan bakal berdekatan dengan mobil minibus/SUV yang setara begitu revisi PPnBM ini diberlakukan.

Still, itu adalah stimulus yang bagus untuk mendorong pasar mobil sedan agar lebih berkembang di Indonesia.

Conclusion: A Very Good Leap Foward

Sepertinya pemerintah sadar bahwa jika ingin membawa tren elektrifikasi lebih jauh di Indonesia, harus ada upaya untuk dapat menggaet dan meyakinkan masyarakat untuk beralih ke mobil hybrid, listrik, maupun hidrogen (kalau infrastrukturnya sudah ada).

Karena percuma saja memulai tren kalau progresnya  'jalan di tempat' karena tidak ada yang mau membeli mobil hybrid dan listrik karena harga yang tidak masuk akal. Karena itulah dibutuhkan stimulus untuk mendorong masyarakat untuk yakin bahwa electrification is the future.

Tidak heran mengapa revisi PPnBM melalui PP Nomor 73 Tahun 2019 dan PP Nomor 74 Tahun 2021 mendapat tanggapan positif bari berbagai pihak otomotif karena faktanya pemerintah mau menyesuaikan dengan zaman dan meninggalkan berbagai stigma kuno terhadap industri otomotif Indonesia.

Bagaimana menurut pendapat saya? Well, saya sangat mendukung ini revisi PPnBM ini tidak hanya relevan bagi masa sekarang, namun juga di masa yang akan datang. Apalagi dengan infrastruktur bagi mobil LCEV yang semakin berkembang di Indonesia, saya hanya ini hanyalah masalah waktu sebelum kehidupan kita terhadap transportasi bakal berubah di suatu kemudian hari nantinya.

Sekarang tinggal menuggu beberapa minggu hingga revisi PPnBM ini diberlakukan, dan saya yakin bakal terjadi 'kehebohan' di pasar otomotif Indonesia, we'll see...

Tag

Dio Puja Altha

Seorang penulis yang selalu kebelet menulis melawan tangan saya yang gatel mengetik di keyboard (๑>◡<๑). Writing, Photography, and Subtitling, Just Doing Something Fun for My Own Sake (^^;)