Ramai-ramai Penolakan RUU Penyiaran, Dewan Pers Buka Suara

Media 16 Mei 2024

Dewan Pers dan seluruh komunitas pers dengan tegas menolak isi draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran. RUU ini merupakan inisiatif DPR yang direncanakan untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

“Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” kata Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu, dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5) lalu melalui web resminya.

Suara senada dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wahyu Dyatmika. Ia menegaskan, jika DPR atau pemerintah tetap ngotot untuk memberlakukan RUU itu, maka akan berhadapan dengan masyarakat pers. “Kalau DPR tidak mengindahkan aspirasi ini, maka Senayan akan berhadapan dengan komunitas pers,” kata Wahyu, biasa dipanggil Komang.

Menurut Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, bila RUU itu nanti diberlakukan, maka tidak akan ada independensi pers. Pers pun menjadi tidak profesional. Dia juga mengritik penyusunan RUU tersebut yang tidak sejak awal melibatkan Dewan Pers dalam proses pembuatannya.

Ninik menambahkan, dalam ketentuan proses penyusunan UU harus ada partisipasi penuh makna (meaningful participation) dari seluruh pemangku kepentingan. Hal ini tidak terjadi dalam penyusunan draf RUU Penyiaran.

Larangan penayangan jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran, ujarnya, juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan, bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran. Dampak lainnya, larangan itu akan membungkam kemerdekaan pers. Padahal jelas tertera dalam pasal 15 ayat (2) huruf a, bahwa fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.

Hal lain yang disoroti Ninik adalah penyelesaian sengketa pers di platform penyiaran. “Sesuai UU Pers, itu menjadi kewenangan Dewan Pers. KPI tidak punya wewenang menyelesaikan sengketa pers,” kilahnya.
Sedangkan anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengutarakan upaya menggembosi  kemerdekaan pers sudah lima kali dilakukan oleh pemerintah maupun legislatif. Hal itu antara lain tecermin melalui isi UU Pemilu, peraturan Komisi Pemilihan Umum, pasal dalam  UU Cipta Kerja, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan terakhir RUU Penyiaran. Yadi menilai, RUU Penyiaran ini jelas-jelas secara frontal mengekang kemerdekaan pers.
Suara penolakan juga datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang disampaikan oleh Kamsul Hasan. Menurut dia, RUU Penyiaran itu jelas-jelas bertentangan dengan UU Pers. PWI minta agar draf RUU Penyiaran yang bertolak belakang dengan UU Pers.

Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Herik Kurniawan, minta agar draf RUU itu dicabut karena akan merugikan publik secara luas dan kembali disusun sejak awal dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), melalui ketua umumnya, Nani Afrida, berpendapat jurnalisme investigatif merupakan strata tertinggi dari karya jurnalistik sehingga jika dilarang, maka akan menghilangkan kualitas jurnalistik. Penolakan juga disampaikan oleh Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan semua konstituen Dewan Pers.

Pakar hingga pegiat jurnalistik ikut menentang

Tak hanya dewan pers, berbagai pakar hingga pegiat jurnalistik ikut menentang RUU penyiaran ini.

Pakar media dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Irfan Wahyudi menyoroti salah satu pasal paling kontroversial di dalamnya yakni Pasal 56 Ayat 2 C, yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.

"Pasal ini menjadi perkara yang signifikan. Sebab, jurnalisme investigatif telah memberi nuansa yang kuat pada proses politik maupun sosial di Indonesia," kata Irfan, melalui keterangan resminya, Kamis (16/5) dilansir dari CNN.

Irfan menginterpretasikan larangan tersebut sebagai wujud pembungkaman pers dan ekspresi media. Menurutnya, peraturan itu membingungkan dan menimbulkan keresahan publik.

Sebagai wujud penyempurnaan dari UU Penyiaran, Irfan menekankan RUU itu perlu disesuaikan dengan zaman.

Irfan lalu meninjau dua regulasi yang mengatur masalah penyiaran. Pertama, keputusan Presiden dalam Omnibus Law, yang mengatur tentang penyelenggaraan penyiaran.

Kedua, UU ITE atau peraturan penyiaran dari KPI. Sedangkan, pada RUU penyiaran juga mengatur penyelesaian sengketa jurnalistik yang dinaungi oleh KPI.

"Permasalahannya terletak pada RUU penyiaran yang memiliki fungsi serupa dengan UU ITE dalam implementasinya. Sehingga, antar UU ITE dan RUU Penyiaran ini saling tumpang tindih dan memicu kebingungan dalam penanganan sengketa jurnalistik," ucap dia.

Menurutnya, RUU itu berpotensi memudahkan pemerintah untuk membatasi kebebasan pers dan bahkan memidanakan jurnalis melalui konten berita yang dianggap meresahkan. Atau dengan kata lain, aturan ini dapat meningkatkan risiko kriminalisasi terhadap jurnalis.

"Penyelesaian masalah pers seharusnya melibatkan lembaga yang menangani etika pers. Jadi ada hak jawab dari narasumber yang merasa keberatan. Tidak serta merta langsung masuk ke pidana," kata Irfan.

RUU ini malah menakuti para jurnalis dan berpotensi mengancam kebebasan pers. Padahal, kata Irfan, pers merupakan pilar penting bagi demokrasi Indonesia.

"Kritik itu hal yang wajar, tapi kemudian jangan sampai malah shoot the messenger gitu. Yang mana, malah mengkriminalisasi jurnalistik itu sendiri. Saya kira ini masih menjadi PR bagi Indonesia," tuturnya.

Sementara itu, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Setri Yasra mengatakan, isi RUU Penyiaran tersebut merupakan suatu kemunduran di era teknologi yang mengharuskan karya jurnalistik diturunkan ke bentuk-bentuk yang adaptif terhadap teknologi. Termasuk konten Bocor Alus yang merupakan turunan dari produk jurnalistik yang dimuat dalam Majalah Tempo. 

Dia tegas menolak larangan terhadap penayangan karya jurnalistik investigasi.

"Jadi ketika ada pasal dalam revisi undang-undang itu yang mengatur soal jurnalisme investigasi tidak boleh muncul di platform digital, ini tidak tahu apa yang terbayang dalam pengusulnya, entah pemerintah atau DPR. Karena jurnalisme itu ya basisnya investigasi, apapun, di manapun platform," jelas Setri sebagaimana dikutip dari Kontan, Rabu (15/5) lalu.

Menurutnya revisi UU Penyiaran tersebut membingungkan. Seharusnya para pembuat kebijakan mendukung produk jurnalistik di platform digital bukan malah menghambat bahkan melarang. 

Setri yakin draft RUU Penyiaran itu bertujuan untuk mengekang dan menyandera kebebasan pers.

"Ini sangat-sangat tidak bisa diterima dan pasti menganggu, pertanyaan berikutnya ada apa?," katanya. 

"Apakah mereka para anggota dewan atau pemerintah yang terkait revisi undang-undang penyiaran mau itu YouTube atau platform digital diisi dengan konten-konten prank atau yang tidak mendidik, atau sanjung-sanjung, itu bukan jurnalistik," tegasnya. 

Menurutnya, apabila negara benar-benar menganggap bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi sekaligus lembaga pengawas kekuasaan dan hak publik untuk memperoleh informasi, seharusnya negara mendorong sebebas-bebasnya berbagai produk jurnalistik investigasi masuk ke platform digital. Bukan malah membuat aturan yang sebaliknya. 

Dia juga menyinggung soal tumpang tindih penyelesaian sengketa pers. 

"Bocor Alus dipermasalahkan orang, selama ini diselesaikan di dewan pers, karena apa? Karena wartawan Bocor Alus ya wartawan Majalah Tempo. Kalau nanti ada lembaga baru, bagaimana nanti? Etik pers itu ya Dewan Pers," katanya. 

Tag

Visio

Hanya seorang eks budak korporat yang menyukai game, manga, anime.