Ilustrasi TikTok dan Youtube. Foto: WordStream

Revisi UU Penyiaran: Apa Kabar Kebebasan Kreator Konten?

Media 20 Mei 2024

Belakangan ini, Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran sedang menjadi topik panas di masyarakat. Revisi ini dianggap tumpang tindih dengan undang-undang lain. Salah satu poin kontroversial yaitu soal platform digital penyiaran.

Dengan aturan baru ini, kreator konten di media sosial seperti YouTuber atau TikToker juga akan terpengaruh. Pasalnya, undang-undang ini dapat mengekang kebebasan dan kreativitas kreator konten.

Apa Isi Pasal Revisi Undang-Undang Tersebut?

Salah satu pasal undang-undang yang menjadi kontroversi yaitu pada Pasal 34F Ayat 2 yang mengatur bahwa Penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau plarform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS).

Bagaimana Pendapat Pakar Mengenai Undang-Undang Ini?

Sudah banyak pakar yang berpendapat mengenai revisi tersebut. Seperti yang dilansir dari Tirto.id pada Senin (20/5), menurut peneliti Remotivi, Muhamad Hechael, mengatakan bahwa dalam UU Penyiaran yang lama, KPI hanya memiliki wewenang untuk memberi sanksi jika terdapat tayangan yang disiarkan melanggar aturan, tidak sampai pada tahap verifikasi.

Selain itu, RUU Penyiaran ini terlihat memiliki power yang sangat tinggi untuk KPI karena KPI dapat bertindak seperti persatuan antara LSM, Dewan Pers, dan KPI.

RUU tersebut tentunya akan berdampak pada kreativitas para kreator konten karena KPI dapat memberlakukan sistem sensor untuk YouTube dan TikTok. Hal tersebut dapat mengancam kebebasan berekspresi untuk kreator konten. Seharusnya negara mencegah konten yang berbahaya seperti hoax dan ujaran kebencian pada kelompok tertentu dibandingkan mengurus penyiaran digital.

Sepaham dengan pendapat sebelumnya, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), Nenden Sekar Arum, mengatakan bahwa RUU tersebut dapat membuat kewenangan KPI menjadi semakin luas, contohnya yaitu pembatasan dan penyensoran pada platform digital.

Padahal, KPI telah memiliki P3 dan Standar Program Siaran (SPS) untuk melakukan pengawasan. Jika RUU tersebut tersebut disahkan, kemajuan ruang digital sebagai platform komunitas dan modal ekonomi akan terkendala.

"(Akan) makin lengkap pengawasan ditambah dengan aturan P3-SPS bisa dibilang rancu. Kewenangan KPI dengan RUU Penyiaran sangat mungkin digunakan sebagai alat justifikasi untuk melakukan sensor terhadap konten dunia digital," tutur Nenden.

Sedangkan, menurut Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, seperti yang dilansir dari Kompas.TV, peraturan baru ini dianggap bertentangan dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE dan peraturan lain seperti PP 71/2019 dan Permenkominfo nomor 5 tahun 2020 telah mengatur soal konten di platform UGC (User Generated Content).

Menurut Wahyudi, menyamakan konten UGC dengan konten siaran yang dihasilkan oleh televisi atau rumah produksi adalah masalah besar. Konten UGC dibuat oleh individu atau kreator konten, bukan oleh lembaga penyiaran seperti televisi, rumah produksi, dll.

Revisi UU Penyiaran ini membawa banyak implikasi, terutama bagi kreator konten muda. Bagaimana pendapat MedForians? Apakah MedForians setuju jika RUU ini disahkan?

Tag

Elin

Just a (future) girl engineer who likes to write anything