Menkominfo Budi Arie Setiadi dan jajarannya saat ditemui di Kantor Kominfo oleh portal berita Suara.com (Foto: Suara.com/Dicky Prastya)

Pembentukan Dewan Media Sosial Ditentang Banyak Pihak, Ini Alasannya!

Media 31 Mei 2024

Baru-baru ini, Rencana pembentukan Dewan Media Sosial (DMS) kembali mengemuka. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi.

Dikutip dari DW.com dan Tirto, Budi mengatakan wacana pembentukan DMS itu merupakan respons positif pemerintah atas masukan dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil dan UNESCO.

"Wacana pembentukan DMS merupakan respons positif pemerintah atas masukan yang diberikan oleh teman-teman CSO dan didukung oleh kajian akademik yang diprakarsai oleh UNESCO," kata Budi.

Budi juga mengungkapkan bahwa pemerintah pun tengah mengkaji wacana tersebut. Beliau mengklaim bahwa pemerintah telah terbuka atas masukan-masukan selanjutnya. Menurutnya, kehadiran DMS adalah upaya membuat tata kelola media sosial lebih baik.

"Jika memang terbentuk, DMS ditujukan untuk turut memastikan dan mengawal kualitas tata kelola media sosial di Indonesia yang lebih akuntabel. Usulan DMS berbentuk jejaring atau koalisi independen lintas pemangku kepentingan, seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, pers, komunitas, praktisi, ahli, pelaku industri, dan sebagainya," lanjut Budi Arie.

Budi mengklaim bahwa DMS nantinya akan befungsi sebagai lembaga mediasi ketika terjadi sengketa di media sosial, termasuk konten-konten yang terindikasi melakukan pelanggaran UU ITE, UU yang revisi keduanya telah disahkan DPR RI pada 5 Desember 2023.

Klaim Budi lainnya yang menarik perhatian terkait pembentukan DMS untuk dilihat lebih jauh adalah ketika dibentuk nanti, DMS akan bersikap serupa seperti Dewan Pers. Artinya, ia akan menjadi sebuah lembaga independen yang diisi oleh lintas pemangku kepentingan, seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, insan pers, praktisi, dll.

Budi bahkan menjamin, DMS akan turut memastikan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di ruang digital.

[Fokus] Kompilasi Pernyataan Terbaru Kominfo Terhadap Kebocoran Data
Kompilasi dari 🤔🤔🤔

Gelombang Penolakan dan Skeptis

Hafizh Nabiyyin yang menjabat sebagai Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, mengaku bahwa usulan pembentukan DMS sejatinya muncul dari organisasinya pada tahun 2023.

DMS diusulkan untuk dicanangkan di UU ITE yang pada saat itu sedang dalam pembahasan revisi kedua.

"Jadi kami berharap sebenarnya ada satu pasal baru di UU ITE yang bisa menjadi dasar pembentukan DMS ini,” kata Hafizh pada Rabu (29/05).

Dalam usulannya saat itu, SAFEnet meminta agar proses moderasi konten di internet, ikut melibatkan partisipasi dari organisasi masyarakat sipil, jadi tidak hanya dikuasai oleh pemerintah dan platform digital. 

"Supaya moderasi konten yang dilakukan oleh Kominfo maupun platform tidak dilakukan secara serampangan. Jadi, tetap menghormati prinsip-prinsip kebebasan berekspresi, dan juga standar-standar HAM,” jelas Hafizh.

Namun, ternyata usulan tersebut tidak diakomodir oleh Kominfo, sehingga ketika wacana pembentukan DMS digulirkan kembali oleh Budi baru-baru ini, muncul kekhawatiran bahwa DMS tidak akan independen, tapi berada di bawah kontrol eksekutif, dalam hal ini Kominfo.

tvOne Resmi Luncurkan Portal Berita AI Pertama di Indonesia
portal berita yang dapat men-generate kontennya dengan bantuan artificial intelligence (AI) itu bernama tvOne.AI. MedForians dapat mengakses portal berita melalui laman www.tvone.ai sejak dirilis tanggal 20 Mei lalu.

Hafizh menggarisbawahi,  jika DMS memang benar-benar ingin dibentuk sebagai lembaga independen, maka pembentukannya harus diatur di level UU seperti layaknya UU Pers, bukan melalui peraturan menteri.

Kekhawatiran yang sama dikemukakan oleh Wahyudi Djafar, yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Ia merasa usulan pembentukan DMS yang baru-baru ini digulirkan Menkominfo Budi sudah tidak relevan, karena usulan tersebut sebelumnya sudah mengemuka pada saat pembahasan revisi kedua UU ITE, namun tidak diakomodasi.

"Bila usulan itu muncul hari ini, dan hanya dibentuk melalui peraturan menteri, tentu berisiko pada besarnya peluang intervensi pemerintah, yang juga memiliki kepentingan secara politik,” kata Wahyudi.

"Dia tidak akan bisa seperti halnya Dewan Pers, ataupun kemudian komisi-komisi independen yang lain, yang memang secara khusus dibentuk melalui UU. Jadi, ketika itu dibentuk oleh peraturan Menkominfo, maka yang terjadi dia berada di bawah kontrol dan pengaruh dari Kominfo atau pemerintah itu sendiri," tambah direktur eksekutif  ELSAM itu.

Potensi Menutup Mulut Kebebasan Berekspresi

Selain kekhawatiran terkait independensi, pakar menilai pembentukan DMS, jika nantinya diatur di bawah Kominfo, akan berpotensi menekan kebebasan berekspresi di ruang digital.

"Pemerintah Indonesia adalah pemerintah yang paling aktif dan paling banyak meminta take down konten kepada platform, misalnya kalau merujuk pada annual google transparency report,” kata Wahyudi.

"Dengan preseden itu, ada kekhawatiran akan pembentukan dewan di bawah Kominfo hanya akan semakin memperkuat wewenang pemerintah untuk memblokir konten, yang pada akhirnya semakin merepresi kebebasan berekspresi,” tambahnya.

Revisi UU Penyiaran: Apa Kabar Kebebasan Kreator Konten?
Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran sedang menjadi topik panas hingga menjadi polemik di masyarakat. RUU ini bisa mengekang kebebasan konten kreator di YouTube dan TikTok. Bagaimana nih pendapat MedForians tentang hal ini?

Sementara Hafizh mengatakan bahwa "Apabila nanti si lembaga ini berada di bawah kewenangan Kominfo, ataupun dia independen tapi dia memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan atau monitoring aktif di media sosial, maka ini akan mengkhawatirkan karena bisa menimbulkan fenomena swasensor, baik oleh korporasi media sosial, maupun bagi individu-individu pengguna media sosial.”

Salah satu kritik lain atas klaim Menkominfo soal DMS tersebut datang dari peneliti ELSAM, Parasurama Pamungkas. Menurutnya, DMS tidak relevan dalam kondisi kekinian Indonesia, terutama di sisi politik. Dia beralasan bahwa Indonesia masih gagap dalam isu kebebasan berekspresi.

"Indonesia punya problem soal kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan ada kecenderungan bahwa otoritas, dalam hal ini pemerintah, itu selalu mencoba merebut kontrol atas lembaga-lembaga multi-stakeholder seperti ini," ungkap Parasurama.

Regulasi yang Tidak Terbuka ke Rakyat

Parasurama menambahkan bahwa pemerintah juga kerap tidak terbuka dalam proses pembuatan regulasi. Oleh karena tabiat itu, dia khawatir keberadaan DMS malah akan semakin menurunkan mutu kebebasan berekspresi di Indonesia.

Parasurama memberi contoh yang terjadi di Irlandia. Pembentukan DMS di Irlandia, menurutnya, malah berujung pada pembatasan kebebasan berekspresi. Karena itulah, dia khawatir Pemerintah Indonesia justru akan mengkooptasi DMS dan menggunakannya sebagai alat untuk mengawal kepentingan elite.

Bagi Parasurama, DMS pun tidak bisa menyelesaikan masalah utama di media sosial, yakni ketidakjelasan pengaturan konten hingga jenis maupun mekanisme penanganan konten bermasalah.

Mantap! KPI Pusat Siap Matangkan Pelaksanaan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2024
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat berupaya dalam menentukan sebuah kualitas program siaran televisi di tanah air tidak melulu soal penegakan aturan. Lebih dari itu, KPI Pusat melibatkan unsur kepakaran dan masukan pihak lain untuk mencapai kualitas tersebut.

Dalam masalah soal “konten bermasalah” tersebut, definisi pemerintah dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 pun dinilai tidak jelas karena hanya pemerintahlah yang mempunyai wewenang untuk mengatur mana konten bermasalah dan tidak.

"Sebenarnya solusi Dewan Media Sosial ini adalah solusi yang salah obat. Masalah terkait tadi [konten bermasalah] solusinya justru ini," kata Parasurama.

Ketimbang membentuk DMS, Parasurama lebih mendorong perbaikan regulasi yang mengatur konten media sosial secara proporsional dan menjunjung semangat kebebasan berekspresi. Misalnya, pemerintah bisa saja membuat regulasi yang membatasi konten-konten yang memuat diskriminasi SARA.

Selama ini, menurutnya, pemerintah terlalu sensitif terhadap konten berisi kritik kebijakan dan politik, tapi malah abai pada konten yang menampilkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seperti etnis Rohingya. Padahal, konten-konten berisi ujaran diskriminatif itulah yang seharusnya ditindak.

Indomie Gunakan AI di Iklan Terbaru Mereka, Hemat Biaya atau Bunuh Kreativitas?
Ada campur tangan AI di dalam iklan, apa gak masalah?

Oleh karena itu, Parasurama mendorong pemerintah untuk memperbaiki regulasi Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 dan PP Nomor 71 Tahun 2019 tentang PTSE pada poin konten berekspresi yang kemungkinan menimbulkan penafsiran beragam. Hal itu penting demi mencegah penggunaan tindakan takedown.

Sementara itu, analis komunikasi dan politik Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menilai bahwa DMS tidak akan punya pengaruh besar jika ia tidak bisa menindak platform yang berada di luar negeri.

"Percuma. Walaupun Dewan Media Sosial legitimasinya kuat, tapi kalau platform-platform itu cuek, ya enggak akan apa-apa. Kalau pun diancam dengan hukuman penutupan, ya sudah sekalian saja diblok karena ketergantungan kita terhadap platform media sosial masih tinggi," kata Kunto.

Kunto menilai bahwa keinginan mengatur medsos akan membuat posisi DMS seperti Dewan Pers. Padahal, situasi pers dan konten media sosial berbeda. Selain itu, dia menilai pemerintah tidak paham situasi karena mediasi konten masih bisa mengalami sengketa ketika tidak terjadi kesepakatan.

Di sisi lain, Kunto malah melihat rencana pembentukan DMS itu sarat muatan politis. Dengan DMS, pemerintah terkesan ingin "menundukkan" media sosial. Padahal, hal itu adalah bentuk pengekangan ekspresi. Terlebih, Indonesia saat ini punya reputasi buruk dalam bidang HAM, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers.

Kunto mencontohkan pendekatan pemerintah dalam menangani konflik di Papua hingga kritik aktivis lingkungan yang menjadi pemicu persepsi negatif tersebut. Jika pemerintah tak berbenah, alih-alih membawa dampak positif, pembentukan DMS pada akhirnya akan dikhawatirkan sebagai upaya lain untuk membatasi narasi dan kebebasan berpendapat.

Kalau pun DMS nanti jadi terbentuk, pengaturan media sosial tetaplah tidak akan berjalan mudah. Malah, menurut Kunto, gagasan mengontrol konten melalui DMS adalah gagasan keblinger.

"Itu keblinger sih ya. Konten-konten di media sosial itu terlalu luas untuk diurusi. Pertama, apakah kita punya cukup energi? Lalu kedua, apakah kita punya cukup teknologi untuk memfilter itu? [Dikhawatirkan] akhirnya hanya akan tebang pilih. Bahkan Australia dan Uni Eropa pun kesulitan untuk [mengontrol] semua platform karena mereka enggak punya akses langsung ke konten-konten yang ada di platform itu," kata Kunto.

Selain soal prinsip dan teknis, Kunto juga khawatir upaya pengontrolan konten media sosial yang berlebihan bakal berimbas buruk ke ranah investasi. Pasalnya, hal itu akan membuat platform-platform teknologi jadi malas masuk ke Indonesia. Indonesia jelas hanya akan merugi jika itu yang terjadi.

Tag

Visio

Hanya seorang eks budak korporat yang menyukai game, manga, anime.